Syekh Yusuf al-Maqassary dalam Narasi Tutur

Oleh: M. Farid W Makkulau

ETTAPEDIA.ORG – Kepopuleran dan kharisma Syekh Yusuf di Sulawesi Selatan tidak diragukan lagi. Ulama besar yang familiar disebut sebagai “Tuanta Salamaka” ini malahan dikeramatkan dan disakralkan apa saja tentangnya. Bagi mereka yang lahir di era Tahun 70-an, seringkali masa kecilnya diperdengarkan narasi tutur tentang ulama pejuang ini, lebih kepada ‘kesaktian’ yang dimilikinya dibanding petuah keagamaannya disebarkannya.

Salah satu kenangan narasi tutur yang sering diperdengarkan orang tua penulis, ternyata setelah diteliti terdapat kesamaan cerita sebagaimana terungkap dalam Lontaraq. Narasi tutur yang penulis maksudkan adalah sepenggal kisah tentang Syekh Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa, seorang ulama kharistimatis asal Sulawesi Selatan sekitar Abad 17 yang diuji ‘kesaktian’-nya di Danau Mawang bersama Dato’ ri Panggentungang dan I Lo’mo ri Antang.

* * *

Cerita selengkapnya (versi narasi tutur) mengenai Syekh Yusuf ‘Tuanta Salamaka’ di Danau Mawang (Ammawang) tersebut adalah sebagai berikut:

Pada suatu hari I Dato’ ri Panggentungang berbincang-bincang dengan I Lo’mo ri Antang di pinggir Danau Mawang.

“Ae Lo’mo”, sapa Dato ri Panggentungang membuka pembicaraan.

“Ada apa Dato’?”-Jawab I Lo’mo ri Antang.

“Bagaimana kalau kita menguji ilmu Yusuf, Kita undang dia kemari, ke Danau Mawang untuk memancingnya, sambil bicara-bicara soal Agama”, usul I Dato’ ri Panggentungang.

“Baiklah, saya setuju, mungkin Yusuf masih membutuhkan ilmu untuk bekal perjalanannya selanjutnya”, Ujar I Lo’mo ri Antang mengamini usul I Dato’ ri Panggentungang.

Perlu diketahui bahwa I Dato’ ri Panggentungang adalah Guru Syekh Yusuf, putera dari Khatib Tunggal Abdul Makmur Dato’ ri Bandang, salah seorang dari Dato’ Tallua, penyebar Islam di Sulawesi Selatan sedang I Lo’mo ri Antang adalah salah seorang guru tasawuf Syekh Yusuf.

“Kapan kita undang Yusuf kemari?” tanya I Lo’mo ri Antang. “Lebih cepat lebih baik, Bagaimana kalau sekarang?”, ujar I Dato’ ri Panggentungang.

“Baiklah”, ujar I Lo’mo ri Antang, menyanggupi.

Keduanyapun kemudian duduk bersemedi, konsentrasi, dan mengirim pesan panggilan kepada Syekh Yusuf di Balla Lompoa (istana) Maccini Dangang Sombaopu, tempat Syekh Yusuf mengaji kitta’ (belajar kitab-kitab agama).

Sementara itu, Syekh Yusuf yang sementara mengaji, tiba-tiba terasa dalam hatinya, ada isyarat panggilan untuknya. Mengetahui siapa yang memanggilnya, Syekh Yusufpun kemudian membalasnya setelah berpamitan kepada gurunya, Daeng Tasammeng, yang juga mengetahui adanya panggilan khusus itu.

Tidak berapa lama, Syekh Yusuf pun segera berangkat dan menyusuri Danau Mawang di pinggir Romang Lompoa, tempat dimana dua panrita, I Dato’ ri Panggentungan dan I Lo’mo ri Antang menunggunya.

“Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullahi wa barakatuh”, kedua panrita memberi salam kedatangan Yusuf.

“Wa ‘Alaikumus Salam wa Rahmatullahi wa barakatuh”, jawab Syekh Yusuf.

“Apa kareba anakku, Yusuf?” keduanya bertanya.

“Alhamdulillah, sehat Dato’, sehat Lo’mo”, balas Syekh Yusuf.

“Anakku Yusuf, kami lama rindu kedatanganmu”, ujar I Dato’ ri Panggentungang.

“Lebih-lebih atanta (pernyataan hormat kepada yang lebih tua), atanta sekarang dalam keadaan haus”, balas Yusuf.

“Anakku Yusuf, kami berdua akan memberimu air penyejuk untuk menghilangkan dahagamu, agar anakku mendapatkan mata air yang lebih jernih dan bening”, sambung I Lo’mo ri Antang.

“Jangan khawatir anakku Yusuf, kami memanggilmu kemari, untuk mendapatkan air yang kamu rindukan. Ingat Sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa orang yang menuntunmu menuju dunia, sesungguhnya adalah orang yang mengkhianatimu. Orang yang mengajarkan kezuhudan dan pengekangan diri yang tak perlu, sesungguhnya malah membuatmu sedih dan susah. Dan orang yang menunjukimu jalan Allah, sesungguhnya adalah penasehatmu dan bermaksud baik kepadamu”, jelas I Dato’ ri Panggentungang.

Yusuf tertegun mendengar segala nasehat dan penuturan kedua tupanrita itu.

Yusuf menyimak segala pengajaran I Dato’ ri Panggentungang dan I Lo’mo ri Antang, sementara matahari yang mulai meninggi diatas puncak Gunung Bawakaraeng dan Lompobattang dan memantulkan cahaya diatas permukaan Danau Mawang yang jernih tiba-tiba berubah jadi gelap, langit jadi mendung, di sebelah barat awan mulai nampak pertanda akan turun hujan.

Ketiganya duduk dengan khidmat diatas barung-barung (gubuk) di pinggiran Danau sebelum mereka memutuskan memancing ikan di pinggiran danau itu.

Yusuf dan kedua gurunya ini larut dalam dzikirnya secara diam-diam. Pandangan ketiganya seakan menembus ke dalam air bening Danau Mawang dihadapannya.

Tiba-tiba terdengar suara guntur menggelegar, hujanpun turun dengan lebatnya seketika.  Suasana berubah jadi gelap oleh awan tebal hitam, ketiganya pun menuju gubuk untuk berteduh.

Sambil menunggu hujan reda, I Dato’ ri Panggentungang mengeluarkan rokok (tambako tongka) dari lipatan sarungnya untuk mengusir rasa dingin, lalu disodorkannya kepada I Lo’mo ri Antang dan Syekh Yusuf.

Keduanya menyambut pemberian I Dato’ ri Panggentungang, lalu mereka sama-sama menggulungnya dan membentuknya seperti rokok. Namun ketiganya saling berpandangan, karena mereka tidak membawa sumber api.

“Ada api, Dato’?” -Tanya I Lo’mo ri Antang.

“Tidak ada”. Jawab I Dato’ ri Panggentungang.

Mendengar jawaban yang nihil, I Lo’mo ri Antang segera menaruh rokoknya dibawah tetesan air hujan yang jatuh dari ujung atap gubuk, seketika rokoknya menyala dan mengeluarkan asap. I Lo’mo ri Antang lalu merokok.

Melihat I Lo’mo ri Antang sudah menyala rokoknya, I Dato’ ri Panggentungang tidak mau kalah. Ditunggunya kilat menyambar dan disulutnya rokoknya dari kilat yang menyambar itu, segera setelahnya I Dato’ ri Panggentungangpun merokok.

Yusuf yang sedari tadi memperhatikan I Lo’mo ri Antang dan I Dato’ ri Panggentungang, jadi segan untuk meminta api. Ia kemudian melangkah menuju pertengahan Danau Mawang di kedalaman sebatas pangkal paha, lalu dicelupkannya rokoknya seraya berdo’a.

Saat tangannya diangkatnya, seketika rokoknya pun sudah menyala ujungnya sedang batang rokoknya tidak basah sama sekali. Syekh Yusufpun merokok.

Dari jauh I Dato’ ri Panggentungang dan I Lo’mo ri Antang mengamati perbuatan Syekh Yusuf, dan di dalam hati keduanya, mereka mengagumi keyakinan dan kemampuan Syekh Yusuf .

“Ilmu apalagi yang ingin kau cari dan pelajari, Anakku Yusuf?” tanya I Dato’ ri Panggentungang. “Ilmu yang saya cari adalah: Pertama, jalan menuju keridhaan Allah. Kedua, mencari cinta yang hakiki. Ketiga, Saya ingin menghilangkan hijab antara saya dengan DIA”, jawab Yusuf.

“Sungguh jalan itu cukup berat, Anakku Yusuf, Belajarlah terus dimanapun kau berada”, ujar keduanya memberi nasehat.

* * *

Demikianlah sepenggal kisah tentang Syekh Yusuf al-Maqassary yang penulis terima dari narasi tutur sejak masih kanak. Narasi tutur itu berkembang dari cerita sebagaimana yang tertulis dalam naskah Lontaraq, sekalipun kini yang tinggal hanya berupa salinannya. Beberapa bagian atau penggalan kisah tentang Syekh Yusuf di Danau Mawang ini juga pernah disinriliqkan oleh HM Siradjuddin Bantang.

Syekh Yusuf al-Maqassary Menurut Prof Dr. Azyumardi Azra, MA. (2004:259), Muhammad Yusuf al-Maqassari (1037-1111/1627-99) atau yang lebih familiar dengan sebutan Syekh Yusuf Tuanta Salamaka adalah perintis ketiga pembaharuan Islam di Nusantara setelah Nur Al-Din Al Raniry (w.1068-1658) dan Abdul Al-Ra’uf Al Sinkili (1024-1105/1615-1693).

Mengikuti perjalanan hidup Syekh Yusuf, kita akan memasukan wilayah penjelajahan ilmu yang sangat luas, dari Sulawesi Selatan dan Jawa Barat, hingga Arabia, Srilanka dan Afrika Selatan. Al Maqassary (Azyumardi A, 2004: 288) adalah ulama yang luar biasa. Dia terutama adalah seorang sufi.

Syekh Yusuf Al Maqassari menurut Prof Dr Azyumardi Azra, mantan Rektor IAIN (UIN Syarif Hidayatullah) Jakarta ini dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” adalah seorang mujaddid (pembaharu) terpenting dalam sejarah Islam di Nusantara.

Pengalaman hidupnya menjelaskan bahwa tasawufnya tidak menjauhkannya dari masalah keduniawian. Al-Maqassry memainkan peranan penting dalam politik Banten dan melangkah ke garis terdepan dalam peperangan melawan Belanda setelah ditangkapnya Sultan Ageng Tertayasa. Al-Maqassari menulis karya-karyanya dalam Bahasa Arab yang sempurna, persinggahannya yang lama di Timur Tengah memungkinkannya menulis dalam bahasa itu. (Azyumardi, 2004: 288).

Syekh Yusuf al-Maqassary, menurut Prof Dr Azyumardi Azra, menolak konsep Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wujud atau monisme ontologis) dan Al-Hulul (Inkarnasi Ilahi). Menurut Syekh Yusuf, Tuhan tidak dapat diperbandingkan dengan apapun (Qs. 42: 11). Sebaliknya, Syekh Yusuf mengambil konsep Wahdat al Syuhud (Keesaan kesadaran atau monoisme fenomenalogis). (***)

Keterangan:
Tuanta Salamaka= Guru yang agung dari Gowa
To panrita= orang cendekia, guru.
Kareba= kabar
Romang Lompoa= hutan lebat
Sinriliq= salah satu jenis sastra daerah Makassar.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Baca Juga